Ultimate magazine theme for WordPress.

Larangan Ekspor Mineral Mentah Sudah Tepat, Tapi Perlu Belajar Dari Kegagalan Kongo

0 65
Larangan Ekspor Mineral Mentah Sudah Tepat, Tapi Butuh Kajian Komprehensif
Presiden Jokowi ungkapan program hilirisasi dan penghentian ekspor mineral mentah.

Jakarta, Indonesiatiremag.com – Kebijakan hilirisasi yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dinilai sudah tepat, namun perlu belajar dari Republik Demokrasi Kongo yang sudah lebih dulu dari Indonesia menjalankan kebijakan hilirisasi. Namun gagal karena tidak didahului kajian yang komprehensif.

Menurut Energy Watch Indonesia larangan ekspor mineral mentah oleh pemerintah sudah tepat, namun butuh kajian yang lebih komprehensif.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Daymas Arangga Radiandra dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertajuk “Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah”,(12/5/23).

Daymas menilai langkah pemerintah menghentikan ekspor mineral mentah sudah tepat. Menurutnya, langkah ini merupakan komitmen pemerintah guna mendukung implementasi kebijakan hilirisasi.

“Ya kalau bicara kebijakan hilirisasi, salah satunya yang kita lihat adalah larangan ekspor. Ini sebuah dukungan untuk program hilirisasi,” ujarnya dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertajuk “Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah”,(12/5/23).

Daymas menjelaskan, pihaknya melihat pemerintah sudah serius dalam melakukan pelarangan ekspor mineral mentah. Mulai dari pelarangan ekspor bijih nikel kendati sudah digugat negara Uni Eropa hingga Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan bauksit per 10 Juni kemarin.

Namun menurutnya, pemerintah perlu melakukan kajian lebih lanjut yang komprehensif dalam melakukan pelarangan terhadap berbagai jenis mineral mentah. Sebab beberapa jenis mineral tidak memiliki prospek yang cemerlang layaknya nikel dan bauksit.

Adapun hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam melakukan pelarangan ekspor, menurut Daymas adalah terkait karakteristik hingga potensi pasar masing-masing mineral.

Daymas mengambil contoh Republik Demokrasi Kongo yang melakukan hilirisasi terhadap kobalt namun berakhir gagal. Padahal, ungkap Daymas, pihaknya melihat hilirisasi nikel Indonesia dapat menjadi success story untuk negara lain.

“Namun kita perlu melihat pengalaman Republik Demokrasi Kongo. Mereka itu memberlakukan hilirisasi untuk kobalt, namun ini tidak terlalu berhasil. Karena itu perlakuannya perlu dibedakan antara mineral satu dan mineral yang lain,” tegas Daymas.

Daymas melihat kebijakan hilirisasi yang dikeluarkan pemerintah sudah terlambat. Padahal Indonesia sudah berpuluh-puluh tahun mengekspor mineral mentah dan selama itu pula tidak mendapatkan nilai tambah.

“Apalagi kita juga sama-sama menyadari bahwa sumber daya mineral itu tidak bertambah karena ini tidak terbarukan, jadi malah semakin berkurang. Nah, semakin lama kita memulai, itu potensi kerugian yang dialami negara akan semakin besar,” paparnya.

Daymas lantas mengapresiasi langkah pemerintah yang dinilai cukup tegas memberlakukan dan mengimplementasikan kebijakan hilirisasi.  Kendati sejak awal, lanjutnya, kebijakan ini mendapat penolakan dari sejumlah kalangan, utamanya para pengusaha.

“Nah, yang perlu ditekankan adalah bagaimana integrasi antara pemerintah dan pengusaha bisa berjalan. Karena memang penyerapan domestik jadi sebuah waktu transisi yang menyakitkan bagi pengusaha. Karena ketika dilarang, artinya kan ada penyerapan keluar yang berkurang dan akhirnya hanya bergantung pada market domestik,” bebernya.

Energy Watch, melihat kebutuhan mineral untuk pasar domestik masih belum tercukupi ketika pemerintah melakukan hilirisasi. Di sisi lain, banyak negara yang siap menerima mineral dari Indonesia ketika pemerintah sukses melakukan hilirisasi seperti Jepang, Amerika dan Australia.

“Berbicara mengenai pertambahan nilai untuk diekspor, banyak negara-negara yang masih terima seperti Jepang, Amerika, Australia. Itu juga mereka masih membutuhkan beberapa mineral dari Indonesia. Jadi gak usah khawatir untuk itu,” tukasnya.

Maka dari itu, pihaknya berharap, pemerintah tak hanya fokus mensukseskan kebijakan hilirisasi namun tetap memastikan kualitas daripada kuantitas energi. Artinya, Daymas menjelaskan, energi yang disuplai ke smelter-smelter yang ada tersebut sudah rendah emisi.

Sebab, Daymas menyebutkan, market dunia saat ini sedang peduli dengan kualitas energi yang ditandai dengan penyediaan energi rendah emisi. Menurutnya, hal ini dipastikan melalui proses produksi, tata kelola hingga dampaknya terhadap lingkungan.

“Di mana itu dihasilkan dari kegiatan smelter atau hilirisasi. Jadi itu yang akan menambah kualitas dari produk yang dihasilkan oleh smelter-smelter di Indonesia,” ujarnya. (Itm01)

Leave A Reply

Your email address will not be published.